Wednesday, January 27, 2010

Halimun the mist



January 22nd 2010 - February 22nd 2010

HALIMUN, the mist

Sebuah refleksi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia

Gemuruh perayaan kapital dan sosial seni rupa kontemporer sejak tiga tahun belakangan ini, menciptakan wajah seni rupa Indonesia sangat dinamis sekaligus menjadi pengalaman baru dalam sejarah perkembangan. Untuk pertama kalinya terjadi kolaborasi berbagai elemen dunia seni dalam memproduksi identitas seni rupa Indonesia, menambah kegairahan dan kedinamisannya. Gravitasi medan sosial-kapital seni rupa saat ini, secara langsung dan tak-langsung menciptakan iklim dan arah perubahan yang mempengaruhi praktek seninya.

Salah satu gejala yang jelas adalah munculnya mannerism, atau suatu bentuk dan gaya artistik yang dianggap paling mapan, terjadi dikalangan para perupa dengan kuatnya pusaran pasar. Suasana ini menciptakan suatu lapisan tanda-tanda yang merabunkan, mengecoh dan mengganggu pengamatan kita terhadap kualitas karya , apakah terhadap totalitas makna, jelajah artistik dan wacana filosofisnya. Suasana ini seperti membentuk lapisan kabut yang menyelubungi suatu tempat- atau dalam istilah sunda; halimun - yang menyelimuti, menyelubungi dan menghalangi pandangan, namun kita masih bisa melihat sesuatu dengan batasan jarak pandang tertentu, tergantung dari tebal dan tipisnya lapisan kabut tersebut. Halimun menjadi metafor untuk menjelaskan gejala medan sosial-kapital seni rupa Indonesia saat ini.

Pameran HALIMUN muncul untuk mengajak kembali melihat perkembangan seni rupa didalam suatu pusaran lapisan nilai. Dari karya-karya 50 perupa Indonesia, baik generasi muda maupun seniornya. Perkembangan secara individual maupun kelompok-kelompok seniman. Ada beberapa lapisan atau bagian besar pengelompokan dalam pameran inagurasi Lawang Wangi ini. Pertama karya-karya dengan komisi khusus yang dipesan oleh Andonowati, sang pemilik Lawang Wangi. Karya - karya perupa seperti Mella jaarsma, Teguh Oestenrik dan juga karya-karya yang site-spesifik untuk merespon ruang dan arsitektur dari galeri.

Kelompok karya para perupa dengan watak realisme baru dan foto-realisme tiba-tiba mendapatkan tempat yang khusus dalam perkembangan terakhir. Kelompok perupa seperti TAXU - Denpasar dan Abstraks - X Bandung yang berawal dari sebuah semangat dan kesadaran perbedaan dari suatu praktek dominan. Begitupun dengan munculnya karya-karya berbasis objek dan medium keramik serta media baru, yang menjadi gejala dalam praktek seni rupa saat ini.

Rifky Effendi
Curator

*curatorial text taken from here

Participating artist:
Yogie Achmad Ginanjar, Cecep M.T., Guntur Timur, Dikdik Sayahdikumullah, Willy Himawan, Radi Arwinda, Wiyoga Muhardanto, Beatrix, Tromarama, Dadan Setiawan, R.E. Hartanto, Tisna Sanjaya, Cinanti ‘kenny’ Johansyah, Prilla Tania, Nurdian Ichsan, Nadia Savitri, Tisa Gracinia, Albert Yonathan, Desziana, Monika Ary Kartika, Hari Cahaya, Herra Pahlasari, Arin Dwihartanto, Tommy A.P., Iman Sapari, Yusuf Ismail, Isa Perkasa, Deden Sambas, Adhya Ranadhireksa, Irman, Faisal Habibi, John Martono, Hilman Hendarsyah, Anggara, Mella Jaarsma (Commissioned), Made Widya Diputra (Commissioned), Kadek Agus Mediana, Suklu, Gde Mahendra Yasa, Ketut Moniarta, Dodit Artawan, Agus Sumiantara, Teguh Ostenrik (Commissioned)

No comments: